Rabu, 15 Oktober 2014

Desa Pertima Karangasem


1. Desa Pertima (Kabupaten Karangasem)
Desa Pertima sebelum tahun 1989 adalah merupakan bagian dari Desa Bugbug, yang mewilayahi 17 (tujuh belas) Br.Dinas yang berada di 4
( empat) Desa Adat yaitu :

a.    Desa Adat Bugbug mewilayahi 8 Br. Dinas.
b.    Desa Adat Perasi mewilayahi 3 Br.Dinas
c.    Desa Adat Timbrah mewilayahi 4 Br.Dinas
d.    Desa Adat Asak mewilayahi 2 Br.Dinas
Mengingat dengan tuntutan pelayanan masyarakat dan luasnya wilayah Desa Bugbug maka pada tahun 1988, atas prakarsa tokoh masyarakat yang tergabung dalam Lembaga Desa seperti LMD, LKMD disepakati demi pemerataan pelayanan masyarakat, maka Desa Bugbug disepakati dimekarkan menjadi 2 ( dua ) Desa Dinas yaitu :
a.       Desa Bugbug yaitu mewilayahi Desa Adat Bugbug dengan 8 Br. Dinas.
b.      Desa Pertima yaitu mewilayahi 3 ( tiga ) Desa Adat (Desa Adat Perasi,Timbrah dan Asak ) dengan 9 Br. Dinas.
Dan kata Pertima adalah merupakan pencairan dari Desa Adat yang disingkat, yang kepanjangannya  Per = Perasi, Tim = Timbrah, dan A = Asak. Disamping pencairan tersebut diatas, juga mengandung kata yang sakral yaitu Pretima yang merupakan barang tak terhitung nilainya karena kesakralannya, yang merupakan perwujudan keyakinan Umat Hindu untuk mendekatkan diri kehadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ada hal menarik dari desa ini yaitu adanya upacara adat yang disebut dengan Usaba. Ada dua jenis usaba yang dilaksanakan dari desa ini yaitu Usaba Sumbu dan Usaba Guling.
Usaba Sumbu

      Sumbu merupakan sebuah poros (pusat). Poros atau sumber kehidupan untuk mencapai sunia (kedekatan dengan Tuhan). Dari beberapa literatur penelitian berbagai kalangan menyebutkan, Usaba Sumbu di gelar sebagai penyambutan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan sarana upacara tiang lurus yang dihiasi berbagai perlengkapan yang kemudian disebut Sumbu. Bentuknya bersusun mengerucut. Pada bagian paling atas terdapat manuk dewata yang dipercaya membawa amanah dari persembahan warga. Persembahan tulus ikhlas, wujud bhakti warga  yang ditujukan kepada tuhan yang Maha Esa.
      Sumbu di bangun setinggi sekitar 25 meter. Menurut Perbekel I Wayan Winda harga satu sumbu bisa menghabiskan biaya Rp. 15 juta karena satu sumbu di bangun dengan banyak rangkaian seperti rerenteng, bungan langkuas, reringgitan naga sariwayang dsb, yang rangkaiannya sangat rumit.
      Dalam proses nyujukan (mendirikan-red) sumbu, sebelumnya dilakukan ritual nyulubin sumbu. Saat itu, sumbu didirikan di tempat bebas, gadis yang mendapatayahan sumbu dengan menggunakan pakaian adat rejang sederhana, masuk pada pangkal sumbu. Sumbu lalu di putar – putar oleh truna adat. Dari ritual itu, sejumlah warga mengatakan hal itu diibaratkan sebagai peristiwa pemutaran gunung Mandara Giri dengan Sumbu dilambangkan sebagai Buana Agung. Pemutaran dilakukan oleh truna adat, karena di percaya truna adat dalam usia yang masih remaja masih melekat sifat – sifat ke-raksaaan. Sesuai dengan cerita itu, bahwa pemutaran Gunung Mandara Giri dilakukan oleh raksasa.
      Dalam cerita pemutaran gunung Mandara Giri,  diceritakan saat lautan diaduk, racun mematikan yang disebut Halahala menyebar. Racun tersebut diceritakan dapat membunuh segala makhluk hidup. Dewa Siwa kemudian meminum racun tersebut, maka lehernya menjadi biru. Setelah itu, berbagai dewa-dewi, binatang, dan harta karun bermunculan, diantaranya, Sura, Dewi yang menciptakan minuman anggur, Apsara, kaum bidadari kahyangan, Kostuba, permata yang paling berharga di dunia, Uccaihsrawa, kuda para Dewa, Kalpawreksa, pohon yang dapat mengabulkan keinginan, Kamadhenu, sapi pertama dan ibu dari segala sapi, Airawata, kendaraan Dewa Indra, dan Laksmi, Dewi keberuntungan dan kemakmuran. Kemudian munculah Dhanwantari membawa kendi berisi tirta amerta yang diceritakan bisa membuat hidup abadi para dewa.
      Dari beberapa penglingsir desa yang di temui, mereka sepakat mengatakan bahwa anak gadis yang mendapat ayahan sumbu, melambangkan seorang dewi laksmi, yang dalam cerita itu adalah dewi pembawa keberuntungan dan kemakmuran. Keberuntungan dan kemakmuran bagi keluarga dan secara umum kepada desa adat. Di pilihnya seorang gadis dalam ayahan sumbu, karena seorang gadis nantinya akan menjadi ibu. Ibu nantinya memiliki peran besar dalam menjalankan roda kehidupan.
      Setiap pelaksanaan usaba sumbu, desa adat melalui empat Pauman, yakni Pauman Beji, Pauman Desa, Pauman Manak Yeh, dan Pauman Lambuan, menunjuk masing –masing seorang gadis untuk mewakili masing – masing Pauman. Kecuali Pauman Desa diwakili oleh dua orang gadis, karena Pauman ini warganya paling banyak, dan menurut cerita leluhur merupakan warga wed (asli) desa adat Timbrah. Dari lima gadis itu, tiga diantaranya ngayah pada usaba kaja, dan sisanya ngayah pada usaba kelod.
      Rangkaian Usaba Sumbu dilaksanakan dalam satu minggu. Diawali dengan upacara melasti ke segara. Tiga hari kemudian desa adat setempat menggelar puncak Usaba Sumbu Kaja. Persembahyangan dilangsungkan tengah malam sekitar pukul 24.00 Wita. Keesokan harinya disebutpengajengan. Pada hari ini dilaksanakan tabuh rah yang bertujuan untuk menyomyakan butha kala. Setelah pengajengan disebut penyelagan. Hari ini di pakai untuk mempersiapkan segala perlengkapan, seperti perlengkapan upacara untuk di pakai pada Usaba Kelod. Setelah itu, hari berikutnya, barulah Usaba Sumbu Kelod. Usaba Sumbu Kelod ditujukan kepada Ida Betara Sri Rambut Sedana dengan mendirikan dua buah Sumbu, dan babi guling
      Pada malam harinya dilaksanakan upacara ngundangin. Upacara ini tergolong sakral, dengan pengucapan mantra – mantra oleh kelian Daa dalam keadaankerauhan, yang di ikuti sorak sorai truna adat agar mantra yang diucapkan tidak di dengar pihak lain. Bahkan warga yang melakukan dokumentasi, dilarang pecalang setempat. Setelah itu, hari berikutnya desa adat melakukan upacara penyineban sebagai akhir dari rangkaian aci Usaba Sumbu.
Ida Betara Turun Kabeh..Mepeed Ngiterin Desa
Odalan Ring Pura Bagus Panji
 Aturan Guling
Process me ehed2an Ring Bale lantang.
Taruna Adat mundut Ida Betara
Usaba Guling
      Usaba Guling  merupakan upacara yang dilaksanakan setiap tahun menurut perhitungan kalender Hindu Bali, yaitu setiap 420 hari pada ”Sukra Pon Kewulu”. Ngusaba Guling sama halnya Ngusaba di tempat lain di Bali. Yang di laksanakan di masing masing Pura Dalem Desa Adat setempat. Yang membedakan adalah adanya sarana upacara atau Banten setiap Kepala keluarga yang berada di wilayah desa Adat Timbrah itu sendiri.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar